Laman

Lebih baik membaca bacaan 1 halaman tapi memiliki makna tersirat yang bisa dituangkan dalam 100 halaman daripada membaca bacaan 100 halaman tapi hanya memiliki makna kurang lebih 1 halaman

Rabu, 19 Oktober 2011

Menghadapi Pahitnya Suatu Pilihan

Pernahkan kalian berpikir jika kita membuat suatu pilihan, maka akan ada resiko yang akan kita hadapi dari pilihan kita tersebut, 

contohnya:
Saya membuat akun jejaring sosial, misalnya twitter. Ketika saya memilih untuk membuat akun tersebut. Saya tidak berpikir akan menghadapi masalah-masalah seperti yang saya hadapi sekarang ini, misalnya saja dengan adanya twitter saya jadi bisa mengetahui apa-apa saja (rata-rata) yang dipikirkan oleh following saya yang di-posting-nya dalam bentuk tweet

Memang dengan hal itu untuk beberapa orang menjadi suatu kesenangan tersendiri, saya tahu bagaimana kesenangannya karena saya bisa mengetahui aktifitas
teman-teman saya tanpa mereka ketahui. Dan yang paling asik menurut saya jika (bisa dibilang memata-matai) gebetan. Itulah asiknya twitter, kita bisa mengamati perkembangan seorang anak manusia yang kita suka tanpa perlu khawatir dia mengatahuinya.

Tetapi, hal ini hanya bisa dilakukan jika target tidak memasang "Protect Tweet" yang dimana hanya follower-nya saja yang bisa melihat tweetnya. Mungkin bagi para stalker, "Protect Tweet" merupakan musuh alaminya.

Hmm, jika dipandang dari sisi lain, twitter membuat semua hal menjadi transparan. Saya dulu pernah melihat tweet teman saya (anggap saja namanya si X) yang isinya menyindir seseorang, pada saat itu hubungan saya dengan si X memang agak dingin (bukan berarti kami bertengkar), begitu saya melihat tweetnya pikiran saya sudah membayangkan bahwa si X benar-benar marah pada saya.

Dan seiring waktu akhirnya saya tahu tweetnya dimaksudkan bukan untuk saya. Semenjak kejadian tersebut, saya berpegang pada satu kutipan yaitu "Terlalu banyak tahu hanya akan merepotkan diri sendiri". Walau demikian, semua itu kembali kepada individunya masing-masing bagaimana mereka menyikapi tweet tersebut misalnya di posisi saya.

Tapi, menurut gambaran saya jika orangnya mudah panas maka ia pasti langsung membalas tweet tersebut dengan perasaan yang membara sampai akhirnya ia mempermalukan dirinya sendiri karena kesalahan paham. Dan jika orangnya berhati rapuh maka ia akan merasa bagai ditusuk 13000 pedang dan akan menangis tersedu-sedu hanya karena satu tweet yang faktanya bukan untuk dia. Dan bagaimana untuk orang yang biasa, ia hanya menyikapi tweet tersebut dengan cara biasa dan membiarkan waktu menjelaskan semua.

Dengan contoh diatas dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan sewaktu saya masih belajar di SMP, ketika kelas 3 pada saat menjelang UN (Ujian Nasional), saya benar-benar diporsir untuk belajar dan selalu diberi PR yang banyak. Bagi orang yang mudah panas, ia akan protes dengan hal itu, merasa PR tersebut terlalu memberatkannya dan berpikir bahwa PR tersebut tidak ada gunanya sehingga tidak mengerjakan PR tersebut, sedangkan untuk yang mudah menyerah ia akan langsung meninggalkan PR tersebut dan tidak mengerjakannya. Dan bagi orang yang biasa saja, ia akan mengerjakan PR tersebut semampunya dan seiring waktu ia baru mengerti bahwa PR tersebut bertujuan untuk melatihnya dalam mengerjakan soal-soal UN mendatang.

 Jadi dapat menjelaskan bahwa sebuah pilihan tersebut pasti ada pahit manisnya. Dan ketika kita menghadapi pahitnya, itu tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar